HUKUM JAMINAN
JUDUL
MAKALAH
HUKUM JAMINAN
NAMA :
SULKARNAINI, SH.
NIM :
2015010462157
KELAS :
F1
TUGAS
PERSEORANGAN
HUKUM
JAMINAN
MKN
- UNIVERSITAS JAYABAYA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadlirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya kepada kita semua sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Jaminan dengan lancar dan tepat waktu.
Pada
kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr. H. Ahmad Muliadi,
SH., MH., selaku dosen mata kuliah Hukum Jaminan. Karena atas bimbingan bapak
selama ini kami dapat mengetahui tentang permasalahan-permasalahan dalam Hukum
Jaminan, hingga saat ini pembahasan mengenai Hukum Jaminan mulai dari
pengertian dan hal-hal yang berkaitan tentangnya.
Kami menyadari
bahwa makalah yang kami susun ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kami
mengharapkan tegur sapa serta kritik yang membangun guna sempurnanya makalah
yang kami susun ini.
Tangerang, Januari
2017
Penulis
DAFTAR ISI
|
||||||||
|
|
|||||||
Kata Pengantar
|
……………………………………………………………….….………..
|
1
|
||||||
Daftar Isi
|
………………………………………………………………..…………..
|
2
|
||||||
BAB. I PENDAHULUAN
|
…………………………………………...……………………
|
|
||||||
A.
Latar
Belakang
|
…………………………………………………………………….
|
3
|
||||||
B.
Rumusan
Masalah
|
………………………………………………………………...
|
3
|
||||||
BAB. II HUKUM JAMINAN
|
…………………………………………….………………
|
|
||||||
A.
Pengertian
Hukum Jaminan
|
……………………………….……………………….
|
4
|
||||||
B.
Perbedaan
Hukum Jaminan Kebendaan Dan Jaminan Perorangan
|
……………..…
|
6
|
||||||
C.
Langkah
Hukum Yang Diambil Apabila Si Berhutang Belum Membayar Hutang.
|
…
|
10
|
||||||
BAB. III PENUTUP
|
…………………………………………………….………………
|
|
||||||
A.
Kesimpulan
|
………………………………………………….…………………
|
14
|
||||||
B.
Saran
|
………………………………………………….…………………
|
14
|
||||||
DAFTAR PUSTAKA
|
………………………………………………..…………………...
|
|
||||||
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan baik
sekunder maupun kebutuhan primer tidak terlepas dengan perbuatan hukum seperti
transaksi jual beli, hutang-piutang ataupun dengan sistem barter. Setiap
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya itu dapat menempuh berbagai cara sesuai
dengan kemampuan finansialnya. Dizaman modern ini, manusia lebih cenderung
mengambil jalan yang mudah untuk mendapatkan uang untuk membeli barang dan atau
benda yang dibutuhkan seperti melakukan transaksi pinjam meminjam kepada Bank.
Di
Dalam KUHPerdata, hak jaminan kebendaan, yang berupa hipotik yang sekadar
menyangkut mengenai tanah sebagai jaminan, sekarang diganti dengan Hak
tanggungan yang merupakan bagian dari hukum jaminan pada umumnya, yang
selanjutnya menjadi bagian dari hukum
benda, yang diatur dalam buku II KUHPerdata. Hak jaminan dengan tanah sebagai
objeknya, bahwa ia merupakan hak jaminan kebendaan, yang merupakan bagian
daripada hukum jaminan pada umumnya. Karena objeknya adalah benda, maka ia
merupakan bagian daripada hukum benda, khususnya benda yang berupa tanah.
Dalam
makalah ini, kami akan menjelaskan tentang hak jaminan kebendaan seperti yang
telah dijelaskan diatas, tentang jaminan hutang serta hak retensi dalam hutang
piutang. Hak retensi disini adalah hak menahan barang dalam hal ini barang
gadaian, jadi selama si yang berhutang belum membayar hutangnya, maka barang
gadaiannya akan ditahan oleh pihak pemberi hutang. Penjelasan lainnya akan
dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar
belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Hukum Jaminan?
2.
Apa
perbedaan hukum jaminan kebendaan dan jaminan perorangan?
3.
Bagaimana
langkah hukum yang diambil apabila si berhutang belum membayar hutangnya?
BAB II
HUKUM JAMINAN
A. Pengertian
Istilah
hukum jaminan merupakan terjemahan dari security
of law, zekerheidstelling, atau zekerheidsrechten.
Istilah hukum jaminan meliputi jaminan kebendaan maupun perorangan. Jaminan
kebendaan meliputi utang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek.
Sedangkan jaminan perorangan, yaitu penanggungan utang (borgtocht).
Sehubungan
dengan pengertian, beberapa pakar merumuskan pengertian umum mengenai hukum
jaminan. Pengertian itu antara lain[1]:
1.
Menurut
J. Satrio,
Hukum jaminan
adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang
kreditur terhadap seorang debitur. Intinya hukum jaminan adalah hukum yang
mengatur tentang jaminan piutang seseorang.
2.
Disamping
itu, Salim HS juga memberikan perumusan tentang
Hukum jaminan,
yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan
penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan
fasilitas kredit.
3.
Menurut
Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan,
Hukum jaminan
adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas
kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan
demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi
lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya
lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya
lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan jangka waktu lama dan bunga yang
relatif rendah.
Sebenarnya apa
yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep
yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang jaminan pada masa yang akan dating. Sedangkan saat ini telah
dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.
Dari tiga
pendapat perumusan pengertian hukum jaminan di atas dapat disimpulkan inti dari
hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara
pemberi jaminan atau debitur dengan penerima jaminan (benda atau orang
tertentu).
Berdasarkan
dari definisi diatas dapat di temukan unsur-unsur yaitu[2]
:
1.
Adanya
kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis;
2.
Adanya
pemberian dan penerima jaminan pemberian
jaminan dalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan;
3.
Adanya
jaminan pada dasarnya, jaminan yang
diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil merupakan jaminan
nonkebendaan;
4.
Adanya
fasilitas kredit pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberian jaminan
bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan.
Pranata
Jaminan dalam hukum perdata
1. Cara terjadinya :
a.
Yang
lahir karena Undang-Undang
Jaminan yang
lahir karena Undang-undang yang merupakan jaminan yang keberadaannya ditunjuk
Undang-Undang tanpa ada perjanjian para pihak.
Maksudnya
Jaminan
yang lahir karena UU karena sebenarnya dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak
ada benda khusus yang diikat / dijadikan jaminan. Hal ini diatur dalam pasal
1131 “yang menyatakan bahwa segala kebendaan milik debitur baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari akan menjadi tanggungan untuk segala
perikatannnya”. Kalau terjadi wan prestasi maka untuk mengajukan pengadilan
harus melalui : Gugatan perdata dalam
berpekara di pengadilan setelah mengajukan gugatan maka minta sita jaminan
b.
Yang
lahir karena di perjanjian
Selain jaminan
yang ditunjuk oleh Undang-Undang tentang sebagai bagian dari asas konsesualitas
dalam hokum perjanjian, Undang-Undang memungkinkan para pihak untuk melakukan
perjanjian penjaminan yang ditujukan untuk menjamin pelunasan atau pelaksanaan
kewajiban debitur kepada kreditur, perjanjian2 penjaminan ini merupakan
perjanjian tambahan yang melekat pada perjanjian hutang piutang diantara
debitur dengan kreditur.
Contoh :
Hipotik, hak
tanggungan, fidusia, perjanjian penanggungan, perjanjian garansi dan lain-lain.
Karena lahir
dari perjanjian maka dari awalnya telah dipersiapkan dan dalam hal ini ada
perjanjian tambahan (assesoir) yang isinya menyangkut tentang pengikatan
jaminan
Secara ringkas
Penjaminan
yang lahir melalui undang-undang Tidak diperjanjikan, penagihannya susah
dilakukan, kalau krediturnya banyak harus dibagi, kalau penjaminan lahir
melalui perjanjian penagihannya mudah melalui pelelangan yang dilakukan oleh
badan negara.
Sistem Hukum Jaminan
Sistem pengaturan
hukum jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system). Sistem hukum jaminan di
Indonesia adalah menganut sistem tertutup (closed system) artinya orang tidak
dapat mengadakan hak-hak jaminan baru ,selain yang telah ditetapkan dalam
undang-undang.
Asas-Asas Hukum Jaminan
1.
Asas publicitet
Bahwa semua
hak tanggungan harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak
ketiga dapat mengetahui bahwa benda tersebut sedang dilakukan pembebanan
jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten / Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia
pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ,sedangkan pendaftaran
hipotek kapal laut dilakukan didepan pejabat pendaftaran dan pencatat balik
nama yaitu Syahbandar.
2. Asas
specialitet
Hak tanggungan
,hak fidusia dan hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atau atas
barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu, harus jelas, terperinci
dan detail.
3. Asas
tidak dapat dibagi-bagi
Asas dibaginya
hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan ,hak fidusia,
hipotek dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian (benda yang
dijadikan jaminan harus menjadi suatau kesatuan dalam menjamin hutang).
4.
Asas inbezittstelling
Yaitu barang
jaminan harus berada ditangan penerima jaminan (pemegang jaminan).
5. Asas
horizontal
Yaitu bangunan
dan tanah tidak merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan
hak pakai ,baik tanah negara maupun tanah hak milik .Bangunannya milik dari
pemberi tanggungan ,tetapi tanahnya milik orang lain,berdasarkan hak pakai
dapat dijadikan jaminan,namun dalam praktek perbankan tidak mau menerima
prinsip ini, karena akan mengalami kesulitan jika tejadi wanprestasi.
B. Perbedaan
Hukum Jaminan Kebendaan Dan Jaminan Perorangan
1.
Dari
Segi Pengertian
a.
Jaminan
yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri
mempunyai hubungan langsung atas benda
tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat
diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan, gadai, dan lain-lain). Sedangkan
b.
Jaminan
perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur
umumnya ( contoh: borgtocht).
2.
Dari
Segi Dasar Hukum
a.
Jaminan kebendaan
diatur dalam Buku
II KUH Perdata
serta Undang-undang lainnya, dengan bentuk, yaitu:
1)
Gadai
diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak yang
diperoleh seorang kreditur
atas suatu barang bergerak yang
diserahkan oleh debitur
untuk mengambil pelunasan dan
barang tersebut dengan mendahulukan
kreditur dari kreditur lain;
2)
Hak
tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan suatu ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain; dan
3)
Fiducia,
UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi
pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur
lain.
b.
Jaminan
perorangan diatur dalam Buku III KUH
Perdata, dalam bentuk:
Penanggungan hutang
(Borgtoght) Pasal
1820 KUH Perdata,
yaitu suatu perjanjian dengan
mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang tersebut tidak memenuhinya[3].
3.
Dari
Segi Jenis[4]
a.
Jaminan
Kebendaan terdiri dari hipotik, hak
tanggungan, gadai; sedangkan
b.
Jaminan
Perorangan terdiri dari Penanggungan
hutang (Borgtoght), Perjanjian
garansi
2.
Dari
Segi Sifatnya
a.
Jaminan
Kebendaan :
Jaminan kebendaan ialah jaminan yang
berupa hak mutlak atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung
dengan benda tertentu dari debitur atau pihak ketiga sebagai penjamin, dapat
dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat
diperalihkan. Jaminan kebendaan ini selain dapat diadakan antara kreditur
dengan debiturnya juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang
menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang (debitur) sehingga hak kebendaan ini
memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Yang termasuk dalam
jaminan kebendaan adalah : hak tanggungan, hipotik, gadai dan jaminan fidusia.
1)
Mengikuti
bendanya (Droit de suite) dalam arti
bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak hanya haknya tetapi juga kewenangan
untuk menjual bendanya dan hak eksekusi;
2)
Dapat
dipertahankan (diminta pemenuhan) terhadap siapapun juga,yaitu terhadap mereka
yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak yang umum maupun yang khusus,
juga terhadap para kreditur dan pihak lawannya;
3)
Dapat
diperalihkan, contoh Hipotik, gadai, dan lain-lain; dan
4)
Menganut
Azas prioriteit yakni hak kebendaan yang lebih tua (lebih dulu terjadi )
lebih di utamakan daripada hak
kebendaan yang terjadi kemudian.
b.
Jaminan
Perorangan :
Jaminan perorangan adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, selalu berupa suatu
perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan pihak ketiga yang
menjamin dipenuhinya kewajiban dari si berutang (debitur), bahkan jaminan
perorangan ini dapat diadakan tanpa pengetahuan dari si berutang (debitur)
tersebut sehingga jaminan perorangan menimbulkan hubungan langsung antara
perorangan yang satu dengan yang lain. Termasuk dalam jaminan perorangan adalah
: personal guarantee, coorporate guarantee dan atau perikatan
tanggung-menanggung
1)
Hanya
dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadeap kekeyaan debitur pada
umumnya; dan
2)
Menganut
Asas kesamaan dalam arti tidak membedakan mana piutang yang terjadi lebih dulu
dan piutang yang terjadi kemudian.
3.
Dari
Segi Masalah Kepailitan
a.
Ditinjau
dari sudut hak kebendaan misal : A mempunyai hak memungut hasil dari tanah
milik B, ternyata B pailit, walaupun B pailit sebagai akibat dari sifat hak
kebendaan mutlak, maka A tdk kehilangan hak untuk menungut hasil, walaupun
tanah itu dijual oleh debitor. Sedangkan
b.
Ditinjau
dari hak perorangan misal : X mempunyai piutang 1juta pada Y; Y sudah pailit. Menurut
aturan kepailitan harta Y harus dijual lelang hasilnya digunakan untuk menutupi
utang-utangnya (Y). X dapat mengajukan tuntutan untuk pembayaran tagihannya.
Tetapi belum tentu akan terpenuhi jika ternyata harta Y tdk cukup untuk
membayar hutang – hutangnya, jika ternyata terdapat banyak kreditur Y.
4.
Dari
Segi Tujuan
a.
Tujuan
dari jaminan yang bersifat kebendaan bermaksud memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan
piutangnya) kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu
dari debitur untuk pemenuhan piutangnya. Sedangkan
b.
Jaminan
yang bersifat perorangan memberikan hak verhaal
kepada kreditur, terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk
memperolehpemenuhan dari piutangnya.
5.
Hubungan
hukum
a.
Hak
kebendaan : secara langsung, antara seseorang dengan benda. Sedangkan
b.
Hak
perorangan : antara 2 pihak atau lebih berkaitan dengan suatu benda atau suatu
hal tertentu.
6.
Prioritas
a.
Hak
kebendaan : sifatnya diutamakan atau didahulukan. Sedangkan
b.
Hak
perorangan : asas kesamaan/keseimbangan, yang lebih dulu atau lebih baru, sama
saja, tidak mempedulikan urutan terjadinya
7.
Hal
tuntutan/gugatan
a.
Hak
kebendaan : gugat kebendaan, dilakukan terhadap siapa saja yang mengganggu
haknya, sedangkan
b.
Hak
perorangan : gugat perorangan, hanya dapat dilakukan terhadap pihak lawannya
Hal hak pemindahan
a.
Hak
kebendaan : dapat dilakukan sepenuhnya, sedangkan
b.
Hak
perorangan : hak pemindahan terbatas.
8.
Asas
perlindungan
a.
Hak
kebendaan : dikenal asas perlindungan (pasal 1977 ayat 1 KUHPer), sedangkan
b.
Hak
perorangan : tidak dikenal
Setelah melihat beberapa perbedaan
diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hak kebendaan bersifat mutlak,
berlangsung lama, bersifat tertutup yang lebih tua kedudukannya, lebih tingggi
/ didahulukan, mengikuti benda dimana hak itu melekat.
C. Langkah
Hukum Yang Diambil Apabila Si Berhutang Belum Membayar Hutang
Sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata.
Syarat sahnya perjanjian adalah:
1.
Adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah
pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak;
2.
Kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum. Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah
setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa,
ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi
laki-laki,dan 19 th bagi wanita. Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dewasa adalah 19 th bagi laki-laki, 16 th bagi wanita. Acuan hukum yang kita
pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum;
3.
Adanya
Obyek. Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjianharuslah suatu hal atau
barang yang cukup jelas; dan
4.
Adanya
kausa yang halal. Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai
suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Syarat angka 1 dan 2 adalah syarat
Subjektif. Sedangkan syarat angka 3 dan 4 adalah syarat objektif.
Ketika terjadi permasalahan tersebut,
maka ada beberapa upaya hokum yang dapat saudara lakukan, antara lain:
1.
Menempuh
jalan damai (musyawarah) seperti yang telah saudara lakukan, mendekati dengan
pendekatan kekeluargaan apalagi telah berteman lama; dan
2.
Apabila
cara pertama tidak berhasil, maka langkah hokum lain yang dapat dilakukan
adalah dengan jalan litigasi, yaitu dapat menggugat ke Pengadilan Negeri. Surat
perjanjian di atas materai tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam
persidangan bahwa teman saudara memang melakukan wanprestasi.
Apa itu wanprestasi?
1.
Wanprestasi
dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur
baik karena kesengajaan atau kelalaian;
2.
Menurut
J Satrio: “Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak
memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya”;
3.
Yahya
Harahap: “Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan
keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti
rugi(schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak,
pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Bentuk-bentuk
wanprestasi
1.
Tidak
melaksanakan prestasi sama sekali;
2.
Melaksanakan
tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
3.
Melaksanakan
tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
4.
Debitur
melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pihak yang merasa dirugikan akibat
adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian
atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti
kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian
yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga.
Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.
Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:
1.
Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur
kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri; dan
2.
Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur
tidak melalui Pengadilan Negeri.
Isi
Peringatan:
1.
Teguran
kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi;
2.
Dasar
teguran; dan
3.
Tanggal
paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal 20 Mei 2015).
Somasi minimal telah dilakukan sebanyak
tiga kali oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya,
maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah
yang akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah
teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat
memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara
keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243
KUHPerdata.
Akibat hukum dari debitur yang telah
melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
1.
Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2.
Pembatalan
perjanjian;
3.
Peralihan
resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4.
Membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal
tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi
debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276
KUHPerdata):
1.
Memenuhi/melaksanakan
perjanjian;
2.
Memenuhi
perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3.
Membayar
ganti rugi;
4.
Membatalkan
perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan
ganti rugi.
Ganti
rugi yang dapat dituntut:
1.
Debitur
wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi
prestasi itu”. (Pasal 1243 KUHPerdata).
“Ganti rugi terdiri dari biaya, rugi, dan bunga” (Pasal 1244 s.d. 1246
KUHPerdata).
a.
Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh suatu pihak;
b.
Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur;
c.
Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau
dihitung oleh kreditur.
2.
Ganti
rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji”
(Pasal 1248 KUHPerdata) dan kerugian dapat diduga atau sepatutnya diduga pada
saat waktu perikatan dibuat;
3.
Ada
kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan hanya karena
kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi karena keadaan
memaksa;
4.
Kesengajaan
adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki; dan
5.
Kelalaian
adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya
akibat yang merugikan orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perumusan pengertian hukum jaminan di
atas dapat disimpulkan inti dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan penerima
jaminan.
Cara terjadinya jaminan terdiri dari
dua yakni pertama penjaminan yang lahir melalui undang-undang Tidak
diperjanjikan, penagihannya susah dilakukan, kalau krediturnya banyak harus
dibagi, kalau yang kedua penjaminan lahir melalui perjanjian penagihannya mudah
melalui pelelangan yang dilakukan oleh badan negara.
Jaminan yang bersifat perorangan adalah
jamian yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu dan hanya
dapat dipertahankan terhadap Debitur tertentu atas harta kekayaan Debitur
semuanya. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas sesuatu benda, yang memiliki ciri-ciri :
1.
Mempunyai
hubungan langsung atas benda tertentu dari Debitur;
2.
Dapat
dipertahankan terhadap siapa saja
3.
Selalu
mengikuti bendanya (droit de suite)
4.
Dapat
diperalihkan (mis. Hak Tanggungan, Gadai)
B.
Saran
Sebagai
mahasiswa hendaknya menjadikan makalah ini untuk menambah wawasan dalam ilmu
hukum pada umumnya dan hukum jaminan pada khususnya.
Dalam
melakukan kegiatan pinjam-meminjam sebaiknya di landasi dengan jaminan, karena
dengan adanya jaminan para kreditur mendapatkan sarana perlindungan bagi
keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur. Jadi, marilah kreditur dan
debitur melakukan sebuah jaminan dalam proses peminjaman atau hutang.
DAFTAR
PUSTAKA
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa
Kredit Bermasalah, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2010.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata tentang hak atas benda,
Jakarta:PT Intermasa, 1993.
Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di
Indonesia.,Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada 2007.
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008
Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak- Hak Kebendaan, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1996.
KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Perdata)
[1] Blogspot.com, http://unjalu.blogspot.co.id/2011/03/hukum-jaminan.html, diakses pada tanggal 20 januari
2017.
[2]
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 6.
[3] Buku III KUHPerdata (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata)
[4]
Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yogyakarat: Pustaka Yustisia, 2010, hal. 67.
Komentar
Posting Komentar