Resume Ilmu Perundang-Undangan Jilid I


ILMU PERUNDANG-UNDANGAN


Dibuat untuk melengkapi tugas Resume

Oleh :
SULKARNAINI
NIM : 09-041-051-74-201-015

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH
TANGERANG
2011
BAB II
 NORMA HUKUM
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubunganya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya.
System norma menurut Hans Kelsen mengemukakan adanya dua system norma yakni :
  1. System norma yang static (nomostatics) adalah system yang melihat pada “isi” norma.
Contoh : Hendaknya engkau menghormati orang tua, dapat ditarik/dirinci menjadi norma-norma khusus seperti kewajiban membantu orang tua kalau ia dalam kesusahan, atau kewajiban merawatnya kalau orang tua tiu sedang sakit.
  1. System norma yang dinamik (nomodynamic) adalah system norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara “Pembentukannya” atau “Penghapusannya”. Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya “Regressus” ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau darimana asalnya.
Norma dasar atau sering disebut dengan “Grundnorm”, “Basic Norm”, atau “Fundamentalnorm”,  ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara “Pre-Supposed”, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan (Das Sollen) tentang bagaimana seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku. Contoh; Hendaknya engkau berprikemanusiaan
Norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri atas dua norma hukum  yaitu norma hukum primer dan norma hukum skunder.
a.    Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus berprilaku didalam masyarakat. Contoh : Hendaknya engkau tidak mencuri.
b.    Norma hukum skunder adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer itu tidak dipenuhi, atau tidak dipatuhi. Contoh : ….Hendaknya engkau yang mencuri dihukum.
Norma hukum dalam perundang-undangan, menurut D.W.P Ruiter dalam kepustakaan di Eropa continental yang dimaksud peraturan perundang-undangan (Wet In Materiele Zin) mengandung tiga unsur yaitu :
1.    Norma hukum
2.    Berlaku keluar
3.    Bersifat umum dalam arti luas
Hubungan antara norma hukum primer dan norma hukum skunder yakni bukanlah hubungan sebab-akibat (Kausalitat) tetapi merupakan hubungan pertanggungjawaban (Zurechnung), oleh karena seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dikenakan pidana hanya dapat dijatuhi sanksi pidana sebatas apa yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan tersebut.
BAB III
NORMA HUKUM DALAM NEGARA
Hierarki norma hukum, menurut Hans Kelsen mengenai teori jenjang norma hukum (Stufentheorie), Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih yang tinggi, norma yang lebih berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm).
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu system norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya sehingga suatu norma dasar itu dikatakan “Presupposed”.

Pengelompokkan norma hukum dalam suatu Negara manurut Hans Nawiaky yakni :
a.    Kelompok I               : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
b.    Kelompok II              : Staatsgrundgezetz (Aturan dasar Negara/Aturan Pokok Negara)
c.       Kelompok III          : Formel Gesetz (Undang-undang “Formal”)
d.    Kelompok IV      : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan     Otonom
BAB IV
SISTEM NORMA HUKUM DI REPUBLIK INDONESIA MENURUT UUD 1945
Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma Fundamental negara yang merupakan norma hukum tertinggi, dan kemudian secara berturut-turut diikuti Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), undang-undang(Formell Gesetz), serta Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan Peraturan Pelaksana serta Peraturan Otonom lainnya (atau istilah yang pakai oleh UUD No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah Peraturan Presiden sampai Peraturan Daerah dan sebagainya).
Hubungan antara Pancasila dan UUD 1945 yakni bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara (StaatsFundamentalnorm) dan sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi Batang Tubuh UUD 1945 sebagai Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara(Verfassungsnorm) serta Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Fungsi dari MPR RI Pra Perubahan UUD 1945:
a.    Fungsi I           : menetapkan UUD
b.    Fungsi IIa        : Menetapkan Garis-garis daripada Haluan Negara
IIb        : Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Fungsi MPR RI Pasca Perubahan UUD 1945:
a.    Fungsi I           : Mengubah dan Menetapkan UUD
b.    Fungsi II          : Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
c.    Fungsi IIIa       : Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD
IIIb       : Memilih Wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan)
IIIc       : Memilih Presiden dan Wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan)

BAB V
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

A.    Hierarki Peraturan perundang-undangan
Undang-undang dasar 1945 pada periode pertama berlaku (antara bulan agustus 1945 sampai dengan 1949), kemudian periode kedua berlaku (5 juli 1959 sampai dengan 19 oktober 1999), dan periode ketiga belaku, yaitu sejak perubahan pertama undang-undang dasar 1945 pada 19 oktober 1999 sampai saat ini hanya menetapkan tuiga jenis peraturan, yang disebut Undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU), dan peraturan pemerintah, yang masing-masing dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1.    Pasal 5 ayat (1) – Sebelum perubahan UUD 1945:
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat, dan kemudian diubah menjadi:
Pasal 20  sesudah perubahan UUD 1945:
(1)  Dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang
(2)  Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh dewan perwakilan rakyat dan presiden untuk dapat disetujui bersama.
(3)  Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan dewan perwakilan rakyat masa itu
(4)  Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang
(5)  Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahklan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. 
2.    Pasal 22 ayat (1) – sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, dan
3.    Pasal 5 ayat (2) – sebelum dan sesudah
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang.
B.    Hierarki Peraturan perundang-undangan (Berdasarkan UU No. 1 Th. 1950)
Sejak dibentuknya undang-undang No. 1 Th. 1950 yaitu Peraturan tentang jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Pasal 1 undang-undang No. 1 Th. 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan pemerintah pusat:
a.    Undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
b.    Peraturan pemerintah
c.    Peraturan menteri
Pasal 2
Tingkat kekuatan peraturan-peraturan pemerintah pusat ialah menurut urutannya pada pasal 1

Berdasrkan rumusan dalam pasal 1 dan pasal 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Peraturan menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yang terltak dibawah peraturan pemerintah.
C.   Hierarki Peraturan perundang-undangan (Berdasarkan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966)
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 norma-norma hukm termasuk dalam sistem norma adalah berturut-turut Undang-undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, keputusan Presiden dan Peraturan-Peraturan Pelaksana Lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.
D.   Tanggapan terhadap ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
Kehadiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum republik Indonesia dan Tata Peraturan perundangan Republik Indonesia merupakan suatu usaha dari Majelis Permusyawaratn Rakyat Sementara sebagai lembaga tertinggi negara dalam menangani masalah tertib hukum di Negara Republik Indonesia, yang secara tidak langsung mengatur pula mengenai tata susunan norma hukum, dan sekaligus menjadikannya sebagai dasar dalam kebijakan pengembangan perundang-undangan di negara Republik Indonesia selanjutnya.

Namun terlihat juga adanya hal-hal yang kurang pada tempatnya, bahkan dirasakan terdapat kelemahan-kelemahan yang seharusnya tidak terjadi itu dapat dilihat dalam ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk yang Berupa Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia, khususnya Pasal 3 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan Yang Termaktub Dalam Pasal 3 Ketetapan MPR No. V/MPR/1973, khususnya pasal 2 yang menetapkan bahwa, Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dinyatakan “Tetap Berlaku” tetapi perlu “disempurnakan”.

Menurut kajian Perundang-undangan, hal-hal yang perlu disempurnakan dalam Ketetapan MPRS No. XX /MPRS/1966 tersebut antara lain adalah Lampiran IIA tentang tata cara Urutan Peraturan Perundangan. Berdasarkan kajian Perundang-undangan dapat diajukan tanggapan sebagai berikut :
a.    Undang-Undang Dasar 1945 terdiri atas dua kelompok norma hukum yakni :
a.    Pembukaan UUD 1945 yang merupakan Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara.
b.    Batang Tubuh UUD 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara.yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan Negara untuk menggariskan tata cara membentuk Peraturan Pemerintah Perundang-Undangan yang mengikat umum.
b.    Ketetapan MPR
Ketetapan MPR merupakan Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara. Dengan demikian alasan mengapa Ketetapan MPR kedudukannya setingkat lebih rendah daripada norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu disebabkan karena norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945 dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara Tertinggi ini melaksanakan kewenangan selaku Konstituante yang berkedudukan “di atas” dalam arti lebih tinggi daripada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan norma-norma dalam ketetapan MPR dibentuk oleh MPR ketika Lembaga Negara Tertinggi ini melaksanakan kewenangan selaku Lembaga Penetap Garis-garis Besar Haluan Negara, dan selaku Lembaga Pemilih (Elektorat) Presiden dan Wakil Presiden yang menjalankan Ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar 1945.
c.    Keputusan Presiden
Di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini ditentukan bahwa Keputusan Presiden yang termasuk dalam Peraturan Perundang-undangan adalah bersifat ‘einmahlig” namun Keputusan Presiden ini sebenarnya tidak tepat karena suatu Keputusan Presiden yang bersifat “einmahlig” adalah yang bersifat “Penetapan” (beschikking) dimana sifat normanya individual, konkret dan sekali-selesai (einmahlig) sedangkan norma dari suatu Peraturan Perudang-undangan selalu bersifat umum. Abstrak dan berlaku terus menerus (dauerhaftig). Dengan demikian sebenarnya yang termasuk Peraturan Perundang-undangan adalah Keputusan Presiden yang bersifat dauerhaftig (berlaku terus menerus). 
d.    Peraturan Menteri
Istilah Peraturan Menteri adalah tidak tepat, dan sebaiknya diganti menjadi Keputusan Menteri oleh karena dengan penyebutan Keputusan Menteri di sini dapat berarti secara luas yaitu, baik yang berarti peraturan (regeling) dan juga yang berarti Penetapan (bescikking).
e.    Instruksi Menteri
Penyebutan Instruksi Menteri sebagai Peraturan Perundang-undangan adalah tidak tepat, oleh karena suatu instruksi itu bersifat individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak dan berlaku terus menerus.
f.     Peraturan Daerah
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini tidak dimasukkan Peraturan Daerah sebagai Peraturan Perundang-undangan, padahal Peraturan Daerah adalah juga termasuk dalam jenis Peraturan Perundang-undangan dan tidak selalu merupakan Peraturan Pelaksanaan saja. 
g.    Peristilahan
Selain tanggapan tersebut di atas terdapat peristilahan yang harus diperbaiki, yaitu:
1)    Istilah “tata urutan” sebaiknya diganti dengan istilah “tata susunan” atau “hierarki”.
2)    Istilah “bentuk” peraturan perundang-undangan sebaiknya diganti dengan istilah “jenis” peraturan perundang-undangan.
3)    Istilah “perundangan” adalah tidak tepat, sebaiknya digunakan istilah “perundang-undangan”.
4)    Istilah “dan lain-lainnya” adalah tidak tepat, oleh karena istilah tersebut dapat diartikan secara luas, atau apakah yang dimaksud disini juga termasuk juga Keputusan Badan Negara atau Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah. Karena dalam rumusan mengenai jenis peraturan perundang-undangan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tidak menyebut secara limitative apa saja yang tergolong di dalamnya.
E.    Hierarki Peraturan perundang-undangan (berdasarkan ketetapan No. III/MPR/2000)
Berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 bahwa tata urutan peraturan Perundang-undangan Republi Indonesia adalah :
1)    Undang-undang Dasar 1945;
2)    Ketetapan MPR RI;
3)    Undang-undang;
4)    PERPU;
5)    Peraturan Pemeintah
6)    Keputusan Presiden
7)    Peraturan Daerah.
F.    Hierarki Peraturan Perundang-undangan (berdasarkan Undang-undang No. 10 Th. 2004)
Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, maka Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan pula tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut:
(1)  Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2)  Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
(3)  Peraturan Pemerintah;
(4)  Peraturan Presiden;
(5)  Perturan Daerah
BAB VI
LEMBAGA NEGARA  DAN PERUNDANG-UNDANGAN
(SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945)
I.        Sistem Pemrintahan Negara Republik Indonesia (berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan)
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya mengenai system pemerintahan Negara tersebut, yang menetapkan bahwa Presiden sebagai Mandataris MPR wajib menjalankan garis-garis besar haluan Negara yang telah ditetapkan oleh MPR, dan Presiden mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan Persetujuan DPR, dapat diambil kesimpulan bahwa di Negara Republik Indonesia Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dalam arti eksekutif dan di samping itu juga pemegang kekuasaan membentuk Undang-undang (dalam arti kekuasaan legislative) dengan persetujuan DPR.

Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748) membagi kekuasaan dalam Negara ke dalam:
1)    Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membentuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang yang berlaku dalam suatu Negara.
2)    Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang atau melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang yang berlaku dalam suatu Negara.
3)    Kekuasaaan yudikatif adalah kekuasaan peradilan di mana kekuasaan ini menjaga agar undang-undang, peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan jalan menjatuhkan sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran hukum/undang-undang. Selain itu kekuasaan yudikatif bertugas pula untuk memutuskan dengan adil sengketa-sengketa sipil yang diajukan ke pengadilan untuk diputuskan. Tugas dari kekuasaan yudikatif adalah mengawasi penerapan ketentuan-ketentuan hukumyang telah ada dan menjatuhkan sanksi hukum bagi pelanggarnya menurut rasa keadilan di dalam peristiwa-peristiwa sengketa hukum yang konkret.

II.        Presiden Penyelenggara tertinggi Pemerintahan Negara
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan dengan jelas bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Penyelenggara Tertinggi Pemerintah Negara, yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi pemerintahan dalam arti luas yang menyangkut ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan pengaturan. Negara Republik Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politicia karena fungsi-fungsi di Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh organ-organ Negara yang mempunyai sifat dan juga fungsi yang berbeda dengan ajaran Trias Politicia tersebut.

III.        Presiden penyelenggara Pemerintah dan Perundang-undangan
Sebagai penyelenggara pemerintahan, Presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan, oleh karena Presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di Negara Republik Indonesia. Fungsi pengaturan tersebut dapat terlihat dalam pembentukan undang-undang dengan perstujuan DPR, sesuai Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, pembentukan Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang merupakan peraturan perundnag-undangan yang disebut secara langsung oleh UUD 1945, dan pembentukan Keputusan Presiden yang merupakan peraturan perundang-undangan yang berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

IV.        Presiden pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR
Dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (sebelum Perubahan) dirumuskan sebagai berikut:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
 Dengan membaca perumusan dari Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang itu ada di tangan Presiden, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi memberikan persetujuan dalam arti menerima atau menolak setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden.
V.        Dewan Perwakilan Rakyat member persetujuan setiap rancangan undnag-undang.
Apabila dilihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Penjelasannya, serta uraian pada sub Bab huruf D tersebut maka yang dimaksud dengan Perkataan ‘dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat’ dapat diartikan dengan kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat atau dengan persesuaian Dewan Perwakilan Rakyat.
VI.        Lembaga-Lembaga Negara lainnya
Selain lembaga-lembaga Negara tersebut diawal, dalam undnag-undang Dasar 1945 masih mengenal 4 (empat) lembaga Negara yang lain, yaitu :
1)    Penguasa Konstitutif         = Majelis Permusyawaratan Rakyat
2)    Penguasa Legislatif           = Presiden + Dewan Perwakilan Rakyat
3)    Penguasa Eksekutif          = Pemerintah = Presiden (dengan dibantu oleh pejabat-pejabat pemerintah)
4)    Penguasa Administratif     = Administrator Negara = Presiden (dengan mengepalai Administrasi Negara)
5)    Penguasa Militer               = Presiden, dengsn membawahi Angkatan Perang
6)    Penguasa Yudikatif           = Mahkamah Agung, dengan membawahi Aparatur Peradilan (Korsa Hakim)
7)    Penguasa Konsultatif        = Dewan Perimbangan Agung
8)    Penguasa Inspektif           = Badan Pemeriksa Keuangan.


BAB VII
LEMBAGA NEGARA DAN PERUNDANG-UNDANGAN
(SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945)
i.        Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia (berdasarkan UUd 1945 sesudah Perubahan)
Sesuai dengan Perubahan UUD 1945, Maria Farida Indrati S. berpendapat bahwa Sistem Pemerintahan Negara sesudah Perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1)    Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan, Negara Indonesia adalah Negara hukum, dengan demikian hal ini berdampak pula adanya prinsip pemerintahan yang berdasar atas system Konstitusi (hukum dasar).
2)    Kekuasaan Negara yang tertinggi adalah di tangan rakyat, sesuai dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
3)    Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, dan mempunyai wewenang untuk:
a.    Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
b.    Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
c.    Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar, sesuai Pasal 3 UUD 1945 Perubahan.
d.    Memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan
e.    Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan, sesuai Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan.
4)    Presiden ialah penyelenggara Pemeintah Negara yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 Perubahan yang menetapkan bahwa, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang Dasar.
Selain itu, dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President), hal ini berhubungan erat dengan rumusan Pasal 6A UUD 1945bPerubahan yang menetapkan bahwa, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
5)    Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Pasal 20 ayat (1)(2) dan (3) UUD 1945 Perubahan, Pasal 20A UUD 1945 Perubahan, maka Presiden seharusnya bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan. 
6)    Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam Pasal 17 UUD 1945 Perubahan antara lain ditetapkan bahwa:
a.    Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara
b.    Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
c.    Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam Pemerintahan.
7)    Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan “Diktator”, artinya kekuasaannya tidak tak terbatas.
ii.        Presiden penyelenggara tertinggi pemerintahan
Di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (sebelum dan sesudah Perubahan) dirumuskan bahwa:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.”
Pemerintahan dalam arti lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945 adalah Presiden. Pengertian ini diperjelas oleh rumusan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan lebih lanjut, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dengan demikian jelaslah bahwa sesudah Perubahan UUD 1945, Presiden Republik Indonesia adalah tetap sebagai Penyelenggara Tertinggi Pemerintahan Negara, yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi pemerintahan dalam arti luas yang menyangkut ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan pengaturan. Selain itu, oleh karena sesudah Perubahan UUD 1945 Presiden dpilih secara langsung oleh rakyat sesuai Pasal 6A UUD 1945 Perubahan, sehingga kedudukan Presiden Republik Indonesia sesudah Perubahan UUD 1945 sebenarnya lebih kuat daripada sebelum Perubahan UUD 1945. Saat ini, sesudah Perubahan UUD 1945, Presiden Republik Indonesia langsung mendapat mandat dari rakyat, sedangkan sebelum Perubahan UUD 1945 Presiden mendapatkan mandat dari rakyat melalui MPR.
iii.        Presiden penyelenggara pemerintahan dan perundang-undangan
Sebagai penyelenggara pemerintahan, Presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan, oleh karena Presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di Indonesia.
Fungsi pengaturan ini terlihat dalam pembentukan Undang-undang bersama DPR sesuai Pasal 20 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945 Perubahan, pembentukan peraturan pemerintahan berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 (sebelum dan sesudah Perubahan), pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 (sebelum dan sesudah Perubahan), yang merupakan peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh UUD 1945, dan juga pembentukan Keputusan Presiden yang merupakan peraturan perundang-undangan yang berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (sebelum dan sesudah Perubahan).
iv.        Dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama Presiden
Dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Perubahan dirumuskan sebagai berikut:
      “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Sedangkan Pasal 20 UUD 1945 Perubahan, menetapkan:
(1)  Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undnag-undang
(2)  Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)  Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undnag-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4)  Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5)  Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. 
v.        Lembaga-lembaga Negara lainnya
Secara keseluruhan yang dapat dianggap sebagai lembaga-lembaga Negara menurut Perubahan UUD 1945 adalah :
(1)  MPR
(2)  DPR
(3)  DPD
(4)  Presiden
(5)  Mahkamah Agung
(6)  Mahkamah Konstitusi
(7)  Komisi Yudisial
(8)  Badan Pemeriksa Keuangan.



Sumber : Buku Ilmu Perundang-undangan Jilid I oleh Ny. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H.,M.H.

Komentar

Postingan Populer